TUHANKU
Tapak telanjang yang menapak perih jalanan membara
ditudung terik fatamorgana membuana jingga
Salib bergerigi menghujam belulang yang menyeringai di bawah kulit
terasa nyata dalam derita dan rana
namun yang lesap dalam agapeNya
Luka membuka
di raga
pun
di jiwa
Perih tertetesi anggur yang melimpah dari cawanNya
Di kitarMu kulihat wajah-wajahku
sejuta manusia yang menatap dengan berupa ekspresi berwarna
yang bengis dan terbahak melihat potongan dagingMu tertinggal di cambukku yang meringis melihat darahMu muncrat dari lubang-lubang yang menganga di tubuhMu yang menatap kosong tak mengerti (atau mungkin mengerti tapi tak peduli hanya menyaksi dan bilang bahwa tahu bahwa Engkau menderita dan mati) yang sedih dan menyesali namun berpaling pulang dan kembali berjudi dengan tetangga sebelah yang pucat menahan perih dari luka pada tangan dan kakiku yang bersalah sehingga terpaku di sisiMu namun sempat-sempatNya meragukanMu namun ada yang Kau tunjukkan keramahanMu, terima kasih, yang mengaku kenal Engkau dan bersama-sama denganMu dalam pelayananMu yang mengagumkan itu (hei dimana wajahku yang itu? ah aku lupa rupanya telah lari setelah menyangkalMu tiga kali dan telah gantung diri setelah menciumMu serta jadi kaya dalam satu malam)
Tuhanku
aku yang bebal ini berulang kali mengatur prosesi ini kembali
bagaimana harus menghadapMu dan memohon ampunMu?
(Kau menjawab
dengan mengunjuk salibMu
merentang tangan dan tertunduk di sana
menelan anggurNya dan menyerahkan nyawa
mengucurkan penebusan dari kepala, tangan, lambung, kaki, dan
sekujur tubuhMu)
19 Mei 1998
BENANG PUTUS
Pada sehelai benang ini
menjalar kerinduanku
Tersimpul pada sehelai bulu rapuh milik sayap-sayap kokoh yang membayang di sepanjang punggungku seraya menyerak bara di setapak penuh duri
Ketika kutengadah
sosok yang menyisakan perih itu tak kasat oleh mata najisku
(yang terlihat hanya mega yang menjulur lidah)
Sementara itu
retak di bawah kelangkanganku
mulai menghisap jiwa yang kutangkar
Aku menitipkan damba pada benang terakhir yang kupunya
agar paruh bengkoknya mematuk jantungku
dan cakarnya menembus batokku
Namun sebelum aku jatuh
kulihat benang itu
ujungnya melayang bersamaku
putus
8 Mei 1997
CINTA
Di tengah hidup yang sia-sia ini
alangkah bahagia
jika masih ada seberkas cinta
yang mau menorehkan tinta
pada batin yang pernah tersaput lara
Dan Bapa,
jikalau pun tak ada
sungguh, tak mengapa
karena aku tahu Kau ADA
dan cinta yang Kau punya
bukan digores dengan tinta biasa
tapi oleh darah mulia
terpahat indah
dan penuh warna.
040903